Indonesia baru saja mencatatkan prestasi membanggakan di dunia internasional. Seorang teknisi muda dari negeri ini berhasil meraih gelar juara dalam World Cup CGC 2025, sebuah kompetisi teknisi bergengsi yang mempertemukan talenta-talenta terbaik dari berbagai negara. Bagi bangsa ini, pencapaian itu bukan sekadar kemenangan individu, melainkan simbol bahwa SDM Indonesia mampu berdiri sejajar dengan negara maju.
Namun, di balik rasa bangga itu, ada sebuah ironi besar: talenta yang diakui dunia sering kali justru tidak dihargai di negeri sendiri. Kondisi ini sudah lama menjadi perbincangan: banyak anak bangsa berprestasi yang justru harus mencari ruang berkembang di luar negeri karena Indonesia belum sepenuhnya memberi penghargaan yang pantas terhadap keterampilan, profesionalisme, dan dedikasi mereka.
---
Kemenangan yang Membuka Mata Dunia
World Cup CGC bukanlah ajang sembarangan. Kompetisi ini menantang para teknisi dari berbagai belahan dunia untuk menyelesaikan persoalan teknis dengan kecepatan, ketepatan, dan kreativitas tingkat tinggi. Indonesia yang berhasil keluar sebagai juara membuktikan bahwa kita punya kualitas SDM yang tidak bisa diremehkan.
Kemenangan ini memberi pesan jelas: anak-anak muda Indonesia punya kompetensi global. Mereka tidak kalah dengan tenaga kerja dari Eropa, Amerika, atau Asia Timur yang sering dianggap lebih unggul dalam hal teknologi. Bahkan, dalam situasi penuh tekanan, perwakilan kita bisa tampil sebagai yang terbaik.
Tapi pertanyaannya, apakah kemenangan ini akan benar-benar membawa perubahan bagi cara bangsa ini memperlakukan SDM-nya sendiri?
Potret Buram: SDM Indonesia di Negeri Sendiri
Ironisnya, meski dunia sudah mengakui kualitas kita, banyak SDM Indonesia yang justru tidak mendapat perlakuan layak di dalam negeri. Beberapa kondisi yang sering ditemui antara lain:
1. Persyaratan Diskriminatif dalam Rekrutmen
Banyak perusahaan yang masih menuliskan syarat yang diskriminatif: mulai dari batas usia yang terlalu sempit, kriteria fisik yang tidak relevan dengan pekerjaan, hingga preferensi gender. Padahal, yang terpenting dalam dunia kerja seharusnya adalah kompetensi, etos kerja dan integritas.
2. Gaji Rendah Tidak Sesuai Skill
Banyak tenaga profesional di Indonesia hanya menerima gaji jauh di bawah standar internasional, bahkan kadang tidak sebanding dengan tanggung jawab yang diemban. Misalnya, teknisi dengan skill tinggi yang mampu mengoperasikan mesin modern sering kali digaji lebih rendah dibanding standar negara tetangga.
3. Kurangnya Apresiasi terhadap Inovasi
SDM yang punya ide-ide segar dan inovasi justru seringkali dipandang sebelah mata. Alih-alih diberi ruang untuk berkembang, mereka kadang dipinggirkan karena budaya kerja yang masih kaku dan hierarkis.
4. Brain Drain yang Tak Terhindarkan
Karena kurangnya penghargaan di dalam negeri, banyak talenta Indonesia akhirnya memilih bekerja di luar negeri. Fenomena “brain drain” ini membuat kita kehilangan orang-orang hebat yang seharusnya bisa membangun bangsa dari dalam.
Mengapa Kondisi Ini Terjadi?
Ada beberapa faktor yang membuat Indonesia seringkali tidak menghargai SDM-nya sendiri:
1. Budaya kerja yang konservatif: Banyak perusahaan masih mengutamakan senioritas daripada kompetensi, sehingga anak muda berbakat sulit mendapat ruang berkembang.
2. Ketimpangan ekonomi: Perusahaan ingin menekan biaya operasional dengan menekan gaji, padahal pada akhirnya itu merugikan karena talenta terbaik pergi.
3. Kurangnya regulasi ketenagakerjaan yang berpihak pada pekerja terampil: Perlindungan hukum dan standar gaji sering tidak sejalan dengan realita kebutuhan hidup.
4. Paradigma “barang impor lebih baik”: Ada anggapan bahwa tenaga kerja asing atau lulusan luar negeri selalu lebih unggul, padahal banyak SDM lokal yang kualitasnya setara atau bahkan lebih baik.
Belajar dari Kemenangan CGC 2025
Kemenangan Indonesia di CGC 2025 seharusnya menjadi momentum untuk mengubah cara pandang kita. Kalau dunia saja sudah mengakui kualitas SDM kita, kenapa kita sendiri masih ragu?
Prestasi ini adalah bukti bahwa:
- Skill lokal mampu bersaing dengan standar global.
- SDM Indonesia siap menghadapi tantangan industri 4.0 dan beyond.
- Apresiasi yang tepat akan mendorong lebih banyak talenta muncul.
Momen ini harus dijadikan bahan refleksi: jangan sampai talenta kita hanya dipuja ketika menang di luar negeri, tapi tetap terpinggirkan ketika kembali ke tanah air.
Harapan: Menghargai Talenta di Negeri Sendiri
Jika ingin maju, Indonesia harus mulai menghargai SDM-nya sendiri. Ada beberapa langkah nyata yang bisa diambil:
1. Membenahi Sistem Rekrutmen
Hentikan persyaratan diskriminatif. Fokus pada kompetensi, bukan hal-hal yang tidak relevan.
2. Menaikkan Standar Gaji dan Kesejahteraan
Berikan kompensasi sesuai skill dan tanggung jawab. Ini bukan hanya soal keadilan, tapi juga cara mempertahankan talenta terbaik agar tidak lari ke luar negeri.
3. Menciptakan Lingkungan Kerja yang Suportif
Dorong inovasi, berikan ruang bereksperimen dan jangan terlalu kaku dengan hierarki. Talenta berkembang jika merasa dihargai dan didukung.
4. Mengubah Paradigma tentang Tenaga Lokal
Berhentilah memandang rendah skill lokal. Jika dunia sudah mengakui, kita juga harus percaya bahwa SDM Indonesia bisa memimpin di level internasional.
5. Peran Pemerintah dan Industri
Pemerintah harus membuat regulasi yang lebih berpihak pada pekerja terampil, sementara industri harus mau berinvestasi pada pengembangan SDM, bukan hanya infrastruktur.
Bangga Saja Tidak Cukup
Kemenangan di ajang dunia memang membanggakan. Media akan ramai memberitakan, masyarakat ikut merayakan dan untuk sesaat kita merasa menjadi bangsa yang hebat. Tapi setelah itu, apakah ada perubahan nyata?
Bangga saja tidak cukup. Kita butuh sistem yang benar-benar mendukung agar talenta-talenta lain tidak hanya muncul sesekali, tapi terus lahir dan berkembang. Kita butuh budaya kerja yang menghargai skill, regulasi yang melindungi SDM, serta industri yang mau berinvestasi pada manusia, bukan sekadar mengejar keuntungan jangka pendek.
Penutup: Saatnya Menghargai Sebelum Kehilangan
Indonesia tidak kekurangan orang pintar, kreatif dan berbakat. Yang kurang adalah penghargaan terhadap mereka di negeri sendiri. Jangan tunggu sampai mereka sukses di luar negeri baru kita mengakuinya. Jangan tunggu sampai SDM terbaik meninggalkan tanah air baru kita menyesal.
Prestasi di World Cup CGC 2025 adalah bukti bahwa kita bisa. Tapi untuk benar-benar maju, kita harus berani berubah. Bangga boleh, tapi menghargai jauh lebih penting.
Karena masa depan bangsa ini bukan hanya ditentukan oleh sumber daya alam, melainkan oleh sumber daya manusia yang diberi ruang, kesempatan dan penghargaan layak di tanah airnya sendiri.
Salam!